Kampus

Stigma Mahasiswa Kurang Berprestasi Picu Perundungan di Kampus

×

Stigma Mahasiswa Kurang Berprestasi Picu Perundungan di Kampus

Sebarkan artikel ini
Stigma Mahasiswa Kurang Berprestasi Picu Perundungan di Kampus
Ilustrasi perundungan. Stigma mahasiswa kurang berprestasi picu perundungan di kampus. (Dok. Pixabay.com).

Mahasiswa Lamongan – Perundungan di lingkungan perguruan tinggi atau kampus masih menjadi persoalan serius yang kerap luput dari perhatian. Salah satu faktor pemicunya adalah stigma negatif terhadap mahasiswa yang dinilai kurang berprestasi secara akademik.

Tak jarang, mereka dianggap sebagai beban oleh teman seangkatannya. Tekanan akademik yang tinggi serta budaya kompetitif di kampus justru mendorong munculnya perilaku diskriminatif ini.

Mahasiswa yang kesulitan mengikuti ritme akademik sering kali dipersepsikan tidak layak berada di lingkungan yang menuntut capaian tinggi. Kurangnya empati dan dukungan sosial dari lingkungan sekitar turut memperparah kondisi tersebut.

Salah satu contoh nyata terjadi di Universitas Tadulako (Untad) Palu, ketika Divisi Advokasi Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris (Himabris) menangani kasus perundungan saat kegiatan kerja kelompok berlangsung.

“Pernah ada mediasi antara mahasiswa yang mengalami bullying sosial. Ia merasa dikucilkan oleh kelompoknya karena dianggap tidak berkontribusi. Padahal, tugas-tugas di kampus memang sangat banyak sehingga membuatnya kewalahan dan akhirnya merasa tersindir,” ungkap Magfira, perwakilan Divisi Advokasi Himabris Untad, dilansir dari rri.co.id.

Dampak dari perundungan di lingkungan kampus ini tidak hanya merusak kesehatan mental korban, tetapi juga mencederai iklim akademik yang seharusnya kondusif. Ketakutan akan dikucilkan membuat mahasiswa yang tertinggal secara akademik merasa terisolasi dan kehilangan semangat belajar.

Menanggapi persoalan ini, Himabris aktif terlibat dalam upaya penanggulangan. Selain memperketat pengawasan serta mendorong penerapan aturan anti-perundungan, pihak kampus juga disarankan untuk membangun budaya yang lebih inklusif dan penuh dukungan.

Penyediaan layanan konseling dan program bimbingan belajar yang terstruktur bisa menjadi langkah konkret untuk membantu mahasiswa yang menghadapi tantangan akademik.

Lebih jauh lagi, penting bagi kampus untuk menanamkan nilai empati dan sikap saling menghargai antar sesama mahasiswa. Pendekatan holistik sangat dibutuhkan untuk mengatasi perundungan yang berakar pada persoalan akademik.

Mindset terhadap mahasiswa yang belum mencapai prestasi tinggi perlu diubah—bukan sebagai beban, melainkan sebagai individu yang membutuhkan bantuan dan pembinaan. Dengan menciptakan lingkungan kampus yang aman, inklusif, dan suportif, semua mahasiswa dapat memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang dan meraih potensi terbaik mereka.